Kamis, 20 Januari 2011

PENDEKATAN KUALITATIF
Oleh : Budi Puspo Priyadi

ABSTRACT
Qualitative method is a post-positivism based research paradigm. Therefore it has a strong difference with positivism-based paradigm of quantitative method. Qualitative methods is holistic in characteristic, seeing the relations inside the system, focused on understanding the background of a phenomenon, and demands the researcher as a research instrument. It has three methods of data collection, covering indepth interview, open questionairres and documentation.
Keywords: post-positivism, qualitative design, data collection

A. PENDAHULUAN
Metode penelitian sosial selama ini telah mengalami kemajuan yang pesat baik dalam hal teknik maupun teori. Pada umumnya, orang mengenal metode penelitian sosial adalah suatu cara bagaimana meneliti fenomena sosial. Dalam kajian akademis, metode penelitian sosial dibedakan dalam dua metode yakni kuantitatif dan kualitatif. Secara historis, metode kuantitatif muncul lebih awal daripada metode kuantitatif Metode kualitatif berkembang sekitar tahun 1960-an, sedangkan metode kuantitaif telah ada sejak tahun 1940-an dan 1950-an (Hammersley dalam Tashakkori & Teddlie, 1998: 6). Namun demikian metode kualitatif sebenarnya telah mempunyai sejarah yang panjang, seperti dalam sosiologi ada mashab Chigaco school di mana pada tahun 1920-an dan 1930-an telah memakai riset kualitatif untuk studi kehidupan kelompok manusia. Dibidang antropologi, pada periode tahun yang sama, banyak antropolog seperti Boas, Mead, Benedict, Bateson, Evans-Pritchard, Radcliffe-Brown, dan Malinowski, telah menggunakan metode kualitatif (Denzin & Lincoln, 1994 : 1).

Dari pendapat-pendapat di atas sebenarnya susah untuk disimpulkan mana yang terlebih dahulu muncul, meskipun banyak orang awam yang mengira bahwa pemunculan metode kualitatif adalah didahului oleh metode kuantitatif. Persoalan lain yang sering kali terjadi adalah orang sulit untuk memahami metode kualitatif, terutama menyangkut persoalan Epistemologi, yakni masalah paradigma. Kesulitan orang dalam memahami paradigma metode kualitatif sebenarnya terjadi karena kebanyakan orang telah memahami terlebih dahulu metode kuantitatif, dengan berbagai aturanaturannya. Dalam banyak hal, paradigma metode kualitatif memang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan paradigma metode kuantitatif sehingga terjadi kesalahan dalam melakukan rujukan. Oleh karena itu perlu dijernihkan kesalahan tersebut, tentu saja dengan cara memahami masing-masing paradigma dengan benar dan proporsional.

Metode atau teknik penelitian kualitatif tidaklah berkenaan dengan pengukuran sesuatu seperti halnya penelitian kuantitatif, tetapi berupaya mencari konteks dari sebuah informasi semaksimal mungkin, agar informasi yang diperoleh menjadi lebih bermakna (Walker, 1985: 3). Selain itu, pendekatan kualitatif mengarah kepada pemahaman yang luas tentang makna dan konteks tingkah laku dan proses yang terjadi dalam pola-pola amatan dari faktorfaktor yang berhubungan (Bullock, et all, 1999, 117). Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu di mana sering terjadi ada kesulitan dalam menguak tabir suatu persoalan, metode kualitatif dimungkinkan melakukan hal tersebut (Strauss & Corbin, 1990: 19).

B. PEMBAHASAN
1. PARADIGMA SEBAGAI BASIS METODOLOGI
Paradigma menurut Guba (1990) adalah merupakan seperangkat asumsi-asumsi yang terpola berkenaan dengan suatu realitas (ontology), pengetahuan tentang realitas itu sendiri (epistemology), dan cara-cara tertentu untuk memahami tentang realitas itu (metodologi) (dalam Crabtree & Miller, 1992: 8). Berkenaan dengan penelitian, pemahaman tentang paradigma menjadi penting karena merupakan pijakan dalam melakukan riset. Tokoh yang menekankan pentingnya paradigma dalam melakukan kerja ilmiah adalah Thomas S Kuhn, pikirannya tertuang dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolutions
(Tashakkori & Teddlie, 1998; 3). Kesalahan memahami paradigma suatu metode penelitian akan membuat kesalahan dalam melakukan riset dan kemudian akan berakibat pula dalam menarik kesimpulan atau analisisnya.

Berbeda dengan metode penelitian kuantitatif yang oleh kebanyakan orang diyakini berbasis paradigma positivisme, metode kualitatif memiliki basis paradigma yang muncul setelah positivisme, yakni post-positivisme (Guba & Lincoln, 1994; Howe, 1998; Lincoln & Guba, 1985 dalam Tashakkori & Teddlie, 1998: 3). Dalam era postpositivismemuncul beberapa aliran seperti humanisme, hermeneutics, phenomenology (konstruktivisme) (Bernard, 1994: 13-15; Walker, 1985: 10). Sebelum melihat lebih jauh tentang paradigma kualitatif, perlu dipaparkan secara singkat apa yang disebut dengan positivisme. Kolakowski, seorang ahli filsafat memandang positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian berkenaan dengan pengetahuan manusia, “a collection of rules and evaluative criteria for referring to human knowledge” serta “a normative attitude regulating how we use such terms as knowledge, science, cognition, and information, (dalam Ahimsa-Putra, 1997: 29).

Menurut Kolakowski ada empat aturan dalam positivisme yang menentukan apa yang dimaksud dengan pengetahuan :
a. rule of phenomenalism;
b. rule of nominalism;
c. rule that refuses to call value judgments and normative statements knowledge;
d. belief in essential unity of scientific method.

Aturan pertama, kita hanya berhak merekam apa yang sebenarnya ada dalam pengalaman kita atau apa yang sebenarnya kita alami. Berarti positivisme mengakui eksistensi, tetapi menolak esensi, sehingga positivisme menolak setiap penjelasan yang mengacu pada halhal yang menurut definisinya tidak dapat digapai oleh pengetahuan manusia. Pengalaman adalah dasar terpenting (ultimate foundation) dari pengetahuan manusia. Positivisme tidak memberikan tempat pada metafisika.

Aturan kedua, rule of nominalism, kita tidak boleh beranggapan bahwa setiap pemahaman (insight) yang dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada faktafakta individual. Jadi bagaimanapun umumnya istilah-istilah yang digunakan untuk merumuskan atau memaparkan suatu pemahaman, acuan rumusan tersebut tetaplah fakta-fakta individual.

Menurut aturan nominalisme, setiap ilmu pengetahuan yang abstrak tidak lain adalah sebuah metode untuk meringkas (abridging) perekaman pengalaman. Ilmu tersebut tidaklah memberi pengetahuan baru yang bebas, dalam arti bahwa ilmu pengetahuan tersebut dapat membuka jalan menuju sebuah kawasan realitas lain yang secara empiris sebenarnya tidak dapat kita gapai.

Aturan ketiga, kita wajib menolak pandangan yang mengatakan bahwa nilai-nilai (values) merupakan ciri-ciri dari dunia yang ada di sekitar kita, Mengapa? Oleh karena nilainilai ini tidak dapat diperoleh dengan cara yang sama sebagaimana halnya “pengetahuan” yang kita miliki. Nilai ini kita peroleh melalui proses sosialisasi, jadi bersifat relatif, karena setiap kebudayaan dan masyarakat di mana proses sosialisasi tersebut berlangsung memiliki sistem nilainya sendirisendiri. Tanpa proses sosialisasi ini kita tidak akan memiliki nilai-nilai tersebut. Lain halnya dengan pengetahuan mengenai dunia empiris di sekitar kita. Walaupun tanpa sosialisasi, kita tetap dapat memperoleh pengetahuan tentang dunia sekitar kita, asalkan panca indera kita normal.

Aturan keempat, belief in essential unity of scientific method merupakan pandangan yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang penting dan mendasar antara metode ilmu pengetahuan alam (natural sciences) dengan metode ilmu sosial-budaya. Meskipun obyek penelitian kedua ilmu pengetahuan ini memang berbeda, namun hal itu tidak berarti bahwa prosedur penalaran dan penelitian di antara keduanya juga harus berbeda (dalam Ahimsa-Putra, 1997: 29-30).

Implikasi dari pandangan semacam ini adalah bahwa berbagai prosedur dan metode penalaran serta penelitian yang telah berkembang terlebih dahulu dalam ilmuilmu alam dianggap dapat digunakan juga untuk memahami berbagai macam gejala atau peristiwa sosial budaya. Anthony Giddens mengatakan bahwa positivistic attitude seperti yang terjadi dalam sosiologi mencakup paling tidak tiga pandangan yang saling berkaitan, yakni: pandangan bahwa : 1) Prosedur yang ada dalam ilmu alam bisa diadaptasikan secara langsung ke dalam sosiologi; 2) Hasil akhir penyelidikan sosiologi dapat diformulasikan sebagai “hukum” atau “aturan” perihal generalisasi sesuatu hal seperti halnya yang ditetapkan oleh ilmuwan ilmu alam; dan 3)Ilmu sosiologi mempunyai ciri yang bersifat teknis (dalam Ahimsa-Putra, 1997; 30-31).

Pendekatan Kualitatif (Budi Puspo)
Selanjutnya menurut Sarantakos ilmu pengetahuan menurut kaum positivis :
a. Didasarkan pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang ketat, berbeda dari spekulasi dan akal sehat;
b. Bersifat deduktif, berasal dari yang abstrak dan umum menuju yang spesifik dan kongkrit;
c. Bersifat nomotetis, bersandar pada hukum-hukum kausal yang digunakan untuk menerangkan kejadian-kejadian sosial yang kongkrit dan hubunganhubungan;
d. Berdasarkan pada pengetahuan yang didapatkan dari akal;
e. Terpisah dari fakta yang berasal dari nilai-nilai, harus bebas nilai (dalam Irianto 1997: 51).

Meskipun banyak ahli telah mengkaitkan paham positivisme dengan tradisi metode penelitian, khususnya pendekatan kuantitatif, ada juga yang mencermati bahwa sebenarnya tidaklah tepat bila ilmu sosial disamakan dengan ilmu alam. Menurut Marsh sangat sedikit peneliti kuantitatif yang akan menerima label seperti itu (dalam Silverman, 1997: 12-13). Silverman lebih jauh mengatakan :

Instead, most quantitative researchers would argue that they do not aim to produce a science of laws (like physics) but simply to produce a set of cumulative, theoretically defined generalizations deriving from the critical sifting of data. So, it became increasingly clear that ‘positivists’ were made of straw since very few researchers could be found who equated the social and natural worlds or who believed that research was properly theory-free (1997: 13).

Berbeda dengan paradigma positivisme, ilmu pengetahuan menurut interpretivisme:
a. Bahwa dasar untuk menerangkan kehidupan sosial dan peristiwa sosial dan untuk memahami manusia bukanlah ilmu pengetahuan dalam arti positivistis, tetapi akal sehat yang di dalamnya mengandung maknamakna yang digunakan orang untuk membuat hidupnya berarti;
b. Bahwa pendekatannya adalah induktif, bermula dari khusus ke yang umum, dari konkret ke abstrak;
c. Bahwa sifatnya idiografis, bukan nomotetis, mengungkapkan kenyataan secara simbolik dalam bentuk deskriptif;
d. Bahwa pengetahuan tidaklah berasal dari akal saja, tetapi merupakan pemahaman makna, dan interpretasi adalah lebih penting;
e. Bahwa ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai (Sarantakos dalam Irianto 1997: 52).
Dari paradigma-paradigma di atas jelaslah bahwa masing-masing mempunyai dasar epistemologi yang berbeda, pendekatan kualitatif mempunyai paradigma yang lazim disebut dengan interpretif. Selain interpretif, dalam pendekatan kualitatif dikenal juga paradigma konstruktivis atau oleh Kuzel (1986) disebut naturalistik dan oleh Gadamer (1976), Guba & Lincoln (1989) disebut hermeneutik (dalam Crabtree & Miller, 1992: 10).
Tabel 1. Perbedaan metode Kualitatif dan Kuantitatif
Qualitative
Quantitative
Soft Flexible Subjective Political Case study Speculative Grounded
Hard Fixed Objective Value-free Survey Hypothesis-testing Abstract
Sumber : Halfpenny (1979) dalam (Silverman, 1997: 13).

2. METODE PENELITIAN KUALITATIF
Metode kualitatif terdiri tiga cara pengumpulan data : 1) Wawancara mendalam, wawancara dengan format pertanyaan terbuka; 2) Observasi langsung; dan 3) Pemanfaatan dokumen tertulis, termasuk sumber-sumber tertulis dari hasil wawancara terbuka pada kuestioner, buku harian seseorang, dan catatan program. Data wawancara terbuka terdiri dari kutipan langsung dari orang tentang pengalamannya, opini, perasaan, dan pengetahuan. Data hasil observasi terdiri diskripsi mendalam mengenai kegiatan suatu program, perilaku para partisipan, aksi para staf, dan interaksi antar manusia secara luas yang dapat menjadi bagian dari pengalaman program. Dokumen dari kutipan-kutipan yang dianalisis, kutipan-kutipan, atau seluruh kalimat dari hasil rekaman, surat menyurat, laporan resmi, dan survey yang menggunakan pertanyaan terbuka (Patton, 1987: 7).

a. Karakteristik disain penelitian Kualitatif
Janesick (1994: 212) membuat rambu-rambu yang berkenaan dengan disain penelitian kualitatif. 1) Rencana penelitian kualitatif
bersifat holistik atau menyeluruh. Melihat sebuah gambar yang luas, menyeluruh dan diawali dengan upaya untuk memahami keseluruhan. (Qualitative design is holistic. It looks at the larger picture, the whole picture, and begins with a search for understanding of the whole);

2) Rencana penelitian kualitatif melihat hubungan yang ada di dalam sistem atau kebudayaan. (Qualitative design looks at relationships within a system or culture);

3) Rencana penelitian kualitatif mengacu pada hal yang bersifat personal, bersifat tatap muka, dan segera. (Qualitative design refers to the personal, face-toface, and immediate);

4) Rencana penelitian kualitatif terfokus pada pemahaman latar belakang sosial yang ada, tidak perlu membuat peramalan tentang latar belakang yang ada.
(Qualitative design is focused on understanding a given social setting, not necessarily on making predictions about that setting);

5) Rencana penelitian kualitatif menuntut bahwa peneliti tinggal di lapangan secara penuh. (Qualitative design demands that the researcher stay in the setting over time);

6) Rencana penelitian kualitatif menuntut alokasi waktu dalam menganalisa sebanding dengan pada saat di lapangan. (Qualitative design demands time in analysis equal to the time in the field);

7) Rencana penelitian kualitatif menuntut bahwa peneliti membangun model mengenai apa yang terjadi pada suatu latar sosial. (Qualitative design demands that the researcher develop a model of what occurred in the social setting);

8) Rencana penelitian kualitatif mensyaratkan peneliti menjadi instrumen penelitian. Hal ini berarti peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengamati tingkah laku dan harus mempertajam keahlian yang dibutuhkan untuk mengamati dan melakukan wawancara secara langsung. (Qualitative design requires the researcher to become the research instrument. This means the researcher must have the ability to observe behavior and must sharpen the skills necessary for observation and face-to-face interview);

9) Rencana penelitian kualitatif menggabungkan ruang untuk diskripsi peneliti seperti halnya diskripsi yang bias dan pilihan idiologi yang dimiliki oleh peneliti.
(Qualitative design incorporates room for descriptions of the researcher as well as description of the researcher’s own biases and ideological preference);
10)Rencana penelitian kualitatif mensyaratkan analisa data secara bersamaan. (Qualitative design requires ongoing analyses of the data).

b. Model Proposal Kualitatif
Mengingat bahwa penelitian kualitatif tidak terstruktur, hasilnya tidak bisa diramalkan, dan keluarannya tidak tentu, maka sulit untuk menulis proposal yang biasa digambarkan seperti: “apa yang kamu lihat adalah apa yang kamu dapat ” WYSIWYG (what you see is what you get). Masalah ini membuat penulisan proposal atau rencana penelitian menjadi sulit (Morse, 1994: 227). Namun demikian, betapapun sulitnya, sebuah rencana adalah merupakan suatu hal yang perlu dilakukan oleh orang sebelum melakukan penelitian. Rencana penelitian berfungsi memberi petunjuk pada peneliti dalam proses pengumpulan, analisa, dan interpretasi atas pengamatan. Oleh karena itu, rencana penelitian adalah blueprint penelitian, yang setidaknya berkaitan dengan empat permasalahan, yakni: pertanyaan apa yang dimunculkan dalam penelitian; data macam apa yang cocok untuk dikumpulkan; data macam apa yang dikumpulkan; dan bagaimana menganalisa hasilnya (Yin, 1994: 1920). Menurut Marshall and Rossman (1989: 27-35), proposal penelitian kualitatif bervariasi dalam format tetapi umumnya mencakup hal-hal sebagai berikut : 1) 

Pendahuluan
Bagian pendahuluan ini menyajikan garis besar proposal. Pertama, cakupan relevansi atas penelitian dari segi praktis, kebijakan, dan teori yang dipaparkan secara ringkas. Selanjutnya, membuat garis besar cakupan teoritis yang sifatnya umum dan didiskusikan dalam tinjauan pustaka. Kemudian membuat sketsa rencana penelitian, pendekatan tertentu yang akan dilakukan, teknik pokok dalam pengumpulan data, dan penonjolkan hal-hal yang unik atas proposal. Akhirnya, dalam bagian pendahuluan ini disajikan juga transisi yang lebih rinci dari diskusi topik secara umum atau pertanyaan penelitian yang akan dicari dalam penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, pertanyaan dan permasalahan penelitian seringkali datang dari pengamatan yang nyata, suatu dilema, dan suatu persoalan yang ingin dipecahkan. Hal itu tidak dinyatakan seperti dalam bentuk “hipotesa bila-maka” yang diturunkan dari teori. Tetapi, diturunkan dari bentuk pertanyaan yang cakupannya luas seperti : a) Mengapa suatu program berjalan dengan baik di satu tempat, tetapi tidak di tempat yang lain? b) Apa yang spesial tentang orang? c) Rencananya seperti apa? d) Dukungannya bagaimana? e) Konteksnya bagaimana? f) Variasi teknik macam apa yang digunakan oleh kelompok pelobi seperti yang mereka cobakan untuk mempengaruhi suatu kebijakan? g) Yang seperti apa yang dirasa paling efektif? h) Bagaimana metode berbeda sesuai isu selama terjadi perdebatan? i) Bagaimana para pelobi mempelajari teknik-teknik ini?

2) Signifikansi Penelitian
Bagian ini berupaya mengembangkan suatu argumentasi dan mengawali gambaran tentang kerangka kerja yang logis untuk penelitian, di bidang apa hal itu ditempatkan dalam suatu tradisi (aliran pemikiran) penelitian dan juga hubungannya dengan studi-studi yang berkaitan. Bagian ini secara umum menjawab pertanyaanpertanyaan sebagai berikut : a) Siapa yang mempunyai minat dalam permasalahan penelitian? b) Apa yang sudah kita ketahui tentang topik penelitian? c) Apa yang belum terjawab secara memadai dalam penelitian atau kegiatan sebelumnya? d) Bagaimana penelitian yang baru ini akan menambah pengetahuan, praktek, dan kebijakan di suatu wilayah?

Berdasarkan uraian di atas, proposal penelitian harus menunjukkan bahwa penelitian akan berguna setidaknya dalam tiga cakupan. Pertama, harus menyokong pengetahuan. Kedua, ada arena kebijakan yang relevan yang harus menemukan manfaat dan makna suatu kajian. Ketiga, kajian harus berguna bagi praktisi. Namun demikian, penekanan yang diberikan secara relatif atas setiap aspek dari signifikansi suatu kajian tergantung pada kajian itu sendiri.
3) Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka menyajikan empat fungsi yang luas, antara lain: a) Menunjukkan asumsi yang mendasari atas pertanyaan penelitian secara umum. Jika mungkin, hal itu harus memaparkan paradigma penelitian yang mendukung kajian dan menggambarkan asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang dibawa peneliti selama penelitian;
b) Menunjukkan bahwa peneliti secara sungguh-sungguh mampu memahami penelitian lain yang berkaitan dan mempunyai tradisi intelektual yang melingkupi dan mendukung kajiannya;
c) Memperlihatkan bahwa peneliti telah mengidentifikasi suatu celah dalam penelitian sebelumnya dan bahwa kajian yang diajukan akan mengisi celah yang ada;
d) Tinjauan pustaka dapat memperhalus dan mendefinisikan ulang pertanyaan penelitian dan hipotesa tentatif yang berhubungan dengan cara melekatkan pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam tradisi empiris yang lebih luas.
4) Metodologi Pada bagian ini peneliti men
jelaskan secara rinci mengenai bagaimana proses penelitian akan dilakukan. Proses tersebut meliputi berbagai kegiatan antara lain :
a) Pemilihan Informan Informan penelitian adalah orang yang memberikan informasi (Gilchrist, 1992 : 71). Oleh karena itu, seorang informan harus benar-benar tahu atau pelaku yang terlibat langsung dengan permasalahan penelitian (Bogdewic, 1992 :57). Memilih seorang informan harus dilihat kompetensinya bukan hanya sekedar untuk menghadirkannya (Bernard, 1994 :165). Proses pemilihan informan semacam inilah yang perlu dijelaskan oleh peneliti karena tidak semua orang bisa menjadi informan (Spradley, 1979 : 45). Dalam penelitian kualitatif besaran (number) informan tidak menentukan, tetapi yang terpenting adalah kedalaman informasi yang diperoleh oleh peneliti (Zyzanski, et all, 1992 : 233). Menurut Lincoln dan Guba (1985) ada prinsip redundansi dalam menentukan besarnya jumlah dalam sampel, yakni tergantung dari informasi yang didapatkan apakah sudah maksimal, dalam artian tidak ada hal yang baru (dalam Patton, 1990 : 185-186). Kerangka sampel dalam penelitian kualitatif biasanya purposive, terdiri atas sejumlah kecil orang dengan karakteristik-karakteristik yang khusus (Walker, 1985 : 30). Bahkan, menurut seorang tokoh metode kualitatif yakni Patton (1980 : 100; 1990 : 169), penelitian kualitatif bisa hanya menggunakan satu orang sampel yang dipilih secara purposive, tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan generalisasi ke semua kasus.
b) Instrumen Penelitian Berbeda dengan penelitian kuantitatif, di mana instrumennya adalah berupa kuesioner, dalam penelitian kualitatif yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri. Bagian ini menjelaskan bagaimana peneliti berperan sebagai instrumen penelitian. Mengingat pentingnya peranan peneliti dalam metode kualitatif maka peneliti perlu meningkatkan kemampuan dalam memahami masalah yang sedang diteliti. Hal itu menurut Glaser (1978) disebut theoretical sensitivity. Theoretical sensitivity mengacu pada kemampuan memberikan pandangan, mampu memberi makna atas data yang ditemukan, mampu memahami, dan mampu memisahkan hal-hal yang tidak berkaitan (Strauss and Corbin, 1990: 42). Selain itu, peneliti harus mampu menciptakan rapport, yakni menciptakan kedekatan yang maksimal dengan para nara sumber sehingga mereka mau bekerja sama (participation) (lihat Spradley, 1979). Oleh karena itu, kepribadian peneliti adalah merupakan kunci dalam kegiatan penelitian (Gummesson, 1991: 3).
c) Pengumpulan dan Pengolahan Data Mengingat bahwa dalam penelitian kualitatif ada beberapa cara pengumpulan data (Marshall and Rossman, 1989:75-101), seperti Wawancara Mendalam (InDepth-Interview), Partisipasi-Observasi, QuestionerFilmStreet EthnographyPsychological Techniques, Proxemics, Kinesics, Ethnographic Interviewing, Elite Interviewing, Historical Analysis, Life History, Content Analysis, Unobtrusive Measures. Metode pendekatan lain yang dikembangkan oleh komunitas interpretif seperti Denzin (dalam Silverman, 1997: 28) antara lain : open-onded, creative interviewing; document analysis; semiotics; life-history; personal experience and self-story construction; participant observation; and thick description. Selain itu ada juga cara pengumpulan data melalui Focus Groups Discusion (lihat Morgan, 1988; Stewart and Shamdasani, 1990). Pada bagian ini peneliti perlu menjelaskan teknik apa dan bagaimana pengumpulan data akan dilakukan. Juga perlu dijelaskan bagaimana pencatatan dan pengolahan datanya (lihat Huberman & Miles, 1994). Perkembangan kemajuan dalam bidang teknik pengolahan data pada saat ini telah tersedia berbagai macam program komputer (software) untuk mengolah data kualitatif (lihat Richards & Richards, 1994, Durkin, 1997). Dari berbagai teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, seorang pelopor metode kualitatif yaitu Howard S. Becker mengatakan bahwa participant observation is the most comprehensive of all type of the research strategies
(Patton, 1980 : 30). Khusus tentang metode partisipasi observasi lihat (Spradley, 1980).
d) Analisa Data Berbeda dengan metode kuantitatif yang datanya lebih mudah dianalisisi karena sistematis, terukur, dan mudah disajikan dalam bentuk yang singkat, analisa data kualitatif lebih sulit karena apa yang didapat dari nara sumber tidak bisa diseragamkan dan sering berupa content (Patton, 1980 : 28). Pada bagian ini menjelaskan bagaimana rencana proses analisa data yang akan dilakukan. Penjelasan tersebut menyangkut jenis analisa data yang digunakan dan bagaimana melakukannya. Model kerja yang biasa dilakukan dalam penelitian kualitatif adalah analisa secara induktif, yang maksudnya adalah bahwa pola-pola, tema-tema, dan kategorisasi bertumpu pada data yang ada, kesemuanya itu muncul dari data (Patton, 1980 : 306). Menurut Ulin, et all, analisa data kualitatif setidaknya ada lima prinsip yang bisa dipakai sebagai petunjuk, yakni : 1) Setiap orang berbeda penga
laman dan pemahamannya tentang realitas; bagaimana para partisipan mendefinisikan situasi bisa jadi tidak merefleksikan asumsi yang dibuat oleh peneliti;
2) Fenomena sosial tidak bisa dipahami di luar konteks terjadinya hal itu;
3) Teori yang dipakai sebagai pegangan bisa merupakan hasil yang diperoleh dari penelitian;
4) Kasus-kasus yang di luar dugaan bisa memperluas pandangan atas permasalahan atau menjadi petunjuk untuk penelitian selanjutnya;
5) Pemahaman atas tingkah laku manusia muncul secara perlahan dan tidak secara linier (2002 : 136-137).
Berkenaan dengan analisa data, sebagai contoh bila seorang peneliti kualitatif memilih analisa model interpretif dalam memutuskan apa yang dikaji, bagaimana mengkaji dan menganalis datanya. Pilihan semacam ini juga mengisyaratkan peneliti untuk bertanggung jawab atas tuntutan persyaratan yang dipakai dalam komunitas interpretif (Miller, 1997 : 9). Berdasarkan pendapat tersebut maka sebenarnya ada aturan yang disepakati oleh suatu komunitas pemakai metode, seperti halnya juga dalam tradisi metode kuantitatif.
C. PENUTUP
Perkembangan dunia penelitian sekarang ini tidaklah memposisikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif pada posisi berlawanan seperti yang digambarkan oleh Gage (1989 dalam Tashakkori & Teddlie, 1998 : 4) sebagai paradigm wars. Debat paradigma yang terjadi pada tahun 1980-an hingga akhir 1990-an memang tak terelakkan dan menjadikan sesuatu yang tidak produktif. Sampai akhirnya banyak ilmuwan yang membuat upaya perdamaian atas dua paradigma itu sehingga memunculkan pernyataan bahwa metode kuantitatif dan kualitatif, setidak-tidaknya saling melengkapi (Tashakkori & Teddlie, 1998 : 4-5). Obyektifitas yang kemudian diterjemahkan dalam pengertian validitas dan reliabilitas di mana menjadi jargon penelitian kuantitatif, tidaklah bisa diterapkan dalam penelitian kualitatif. Dalam hal itu metode kualitatif mempunyai pengertian sendiri berkenaan dengan masalah tersebut (lihat Kirk & Miller, 1986). Patton menandaskan bahwa:
the validity, meaningfulness, and insights generated from qualitative inquiry have more to do with the information-richness of the cases selected and the observational/ analytical capabilities of the researcher than with sample size
(1990: 185). Berkenaan dengan metode kualitatif, salah seorang ahli metode kualitatif mengatakan bahwa no entry, no research (Nasution, 1988 : 43). Pendapat itu mengisyaratkan bahwa tanpa memasuki kancah penelitian, seorang peneliti tidak akan merasakan bagaimana dinamika yang hidup dalam suatu kegiatan penelitian. Apa yang dipaparkan di atas adalah hanya sebagian dari ‘pengetahuan’ tentang penelitian kualitatif yang dalam kenyataannya masih banyak hal yang perlu dipahami. Diharapkan dari upaya seperti ini, kita bisa mendapatkan inspirasi untuk mulai melakukan penelitian

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra. & Heddy Sri. 1997. Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Tafsir Epistemologi”, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Masinambow, E.K.M., (ed), (hal 25-48) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Antropologi Indonesia).
Bernard, H, Russell. 1994. Research Methods in Anthropology Qualitative and Quantitative Approaches, (2nd edition). Thousand Oaks, CA : SAGE.
Bullock, Roger., Michael Little. & Spencer Millham. 1999. “Hubungan antara Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif dalam Penelitian Kebijakan Sosial”, dalamMemadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif
(Terjemahan), Julia Brannen. (hal 111136). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Bogdewic, Stephen, P. 1992. “Participant Observation”, dalam Doing Qualitative Research. Benyamin F. Crabtree and William L. Miller, pp 45-69. Newbury Park, CA : SAGE.
Crabtree, Benyamin F. & William L Miller. 1992. Doing Qualitative Research. Newbury Park, CA : SAGE.
Denzin, Norman K. & Yvonna S Lincoln. 1994. “Introduction Entering the Field of Qualitative Research” dalam Handbook of Qualitative Research, pp 1-17. Thousand Oaks, CA : SAGE.
Durkin, Tom. 1997. “Using Computers in Strategic Qualitative Research”, dalam Context and Method in Qualitative Research. Gale Miller and Robert Dingwall, pp 92-105. London : SAGE.
Gilchrist, Valerie, J. 1992. “Key Informant Interviews”, dalam Doing Qualitative Research. Benyamin F. Crabtree and William L. Miller, pp 7092 Newbury Park, CA, : SAGE.
Glaser, B. 1978. Theoretical sensitivity. Mill Valley. CA : Sociology Press.
Gummesson, Evert. 1991.
Qualitative Methods in Management Research. Newbury Park : SAGE.
Huberman, A, Michael. & Miles, Mattew B. 1994. “Data Management and Analysis Methods, dalam Handbook of Qualitative Research. Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, eds, pp 428-444. Thousand Oaks, CA : SAGE.
Irianto, Sulistyowati. 1997. “Konsep Kebudayaan Koentjaraningrat dan Keberadaannya dalam Paradigma Ilmu-ilmu Sosial” dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, Masinambow, E.K.M.,
(ed), (hal 49-60). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Antropologi Indonesia.
Janesick, Valerie J. 1994. “The Dance of Qualitative Research Design Metaphor, Methodolatry, and Meaning”, dalam Handbook of Qualitative Research, Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, eds, (pp 199-208). Thousand Oaks, CA : SAGE.
Kirk, Jerome, Miller, Marc L. 1986.
Reliability and Validity in Qualitative Research. Beverly Hills, CA: SAGE Publication.
Marshall, Catherine. & Gretchen B Rossman. 1989. Designing Qualitative Research. Newbury Park, CA: SAGE Publications.
Miller, Gale. 1997. “Introduction : Context and Method in Qualitative Research”, dalam Context and Method in Qualitative Research. Gale Miller and Robert Dingwall, pp 1-11. London: SAGE.
Morgan, David L. 1988. Focus Groups as Qualitative Research. Newbury Park, CA : SAGE.
Morse, Janice M. 1994. “Designing Funded Qualitative Research”, dalam Handbook of Qualitative Research. Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, eds, pp 220-235. Thousand Oaks, CA : SAGE.
Nasution. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung : Tarsito.
Patton, M. Q. 1980. Qualitative Evaluation Methods. Beverly Hills, CA : SAGE.
Patton, M. Q. 1987. How to Use Qualitative Methods in Evaluation. Newbury Park, CA : SAGE.
Patton, M. Q. 1990. “Designing qualitative studies” dalam Qualitative Evaluation and Research Methods
(2nd edition), pp 145-199. Newbury Park, CA : SAGE.
Richards, Thomas J. & Richards, Lyn. “Using Computers in Qualitative Research”, dalam Handbook of Qualitative Research, Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, eds, (pp 445-462) (Thousand Oaks, CA:SAGE, 1994).
Silverman, David. “Validity and Credibility in Qualitative Research The Logics of Qualitative Research”, dalam Context and Method in Qualitative Research, Gale Miller and Robert Dingwall, (pp 12-25) (London: SAGE, 1997).
Spradley, J. P. Participant Observation, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1980).
Pendekatan Kualitatif (Budi Puspo)
Spradley, J.P. The Ethnographic Interview, (New York: Holt, Rinehart & Winston, 1979).
Stewart, David W. & Shamdasani, Prem N. Focus Groups Theory and Practice, (Newbury Park, CA, : SAGE, 1990).
Strauss, Anselm. & Corbin, Juliet.
Basics of Qualitative Research Grounded Theory Procedurs and Techniques, (Newbury Park, CA: SAGE Publication, 1990).
Ulin, Priscilla, R, et allQualitative Methods: a field guide for applied research in sexual and reproductive health, (North Carolina: Family Health International, 2002).
Walker, Robert. Applied Qualitative Research, (Vermont : Gower Publishing Company, 1985).
Yin, RK. “Designing case study”, dalam Case Study Research: Design and Methods (Second Edition) (pp 18-53) (Thousand Oaks, CA: SAGE, 1994).
Zyzanski, Stephen J, et all. “Qualitative Research: Perspectives on the Future”, dalam Doing Qualitative Research, Benyamin F. Crabtree and William L. Miller, (Newbury Park, CA, SAGE, 1992).